Oleh :Gus Nadirsyah Hosen
Dalam hukum Islam ada kaidah al-‘adah muhakkamah. Tradisi yang tak bertentangan langsung dengan pokok-pokok akidah bisa diakui dan diakomodir dalam praktik maupun ekspresi keislaman kita. Kaidah ini membuat Islam bisa menerima berbagai budaya tanpa harus kehilangan identitas keislaman kita.
Hanya dengan satu hadits ini, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Daud dan Ahmad), banyak ustaz yang lantang mengharamkan hampir semua aspek kehidupan kita saat ini. Bagaimana cara kita memahami hadits ini dalam tinjauan ilmu hadits, sejarah, politik dan budaya?
Berbeda dengan imajinasi pihak tertentu, dari mulai Prof Samuel Huntington sampai Emak-emak yang hobi main medsos, yang membayangkan terjadinya benturan budaya, sesungguhnya peradaban manusia dibangun lewat perjumpaan dan percampuran berbagai budaya di dunia ini. Dari mulai bahasa, pakaian, makanan, karya seni, teknologi sampai olahraga terdapat titik-titik kesamaan yang kemudian bila dilacak ke belakang kita akan kesukaran menentukan identitas asli tradisi tersebut.
Ambil contoh, memakan dengan sumpit. Kawan bule saya keheranan saya tidak bisa menggunakan sumpit padahal sudah 20 tahun lebih tinggal di Australia. Ganti saya yang keheranan ketika sumpit dihubungkan dengan tradisi Australia. Bukannya ini berasal dari Cina? Kawan bule saya dengan santai bilang: “Aslinya sih begitu, tetapi semua anak Ausie tahu cara pakai sumpit.”
Saya beri satu contoh umum lagi, sebelum kita masuki contoh yang kontroversial. Sepak bola modern berasal dari Inggris. Paling tidak itu kata kawan saya yang penggemar berat Arsenal. Tapi ternyata olahraga ini punya sejarah panjang dari mulai permainan cuju di Cina, sampai permainan epyskiros di Yunani.
Dan kini setiap menyebut sepak bola, dunia tidak lagi mengingat pemain Inggris, Cina atau Yunani, tetapi Messi dari Argentina dan Ronaldo dari Portugal (keduanya bermain di Liga Spanyol). Dan saya menduga baik Messi maupun Ronaldo juga tidak keberatan makan dengan sumpit.
Nah, bisakah hanya gara-gara makan dengan sumpit atau menjadi penggemar bola, Anda kemudian dianggap bagian dari mereka? “Mereka” itu siapa? Itu saja tidak jelas karena untuk sampai kepada “mereka”, perjalanan sumpit dan sepak bola itu panjang melintasi benua dan samudera. Tapi bukankah sebagai orang Jawa, Sunda, Bugis atau Ambon Anda tetap tidak merasa kehilangan kejawaan, kesundaan, kebugisan atau keambonan Anda hanya karena makan mie pangsit dengan sumpit atau mengoleksi berbagai atribut Real Madrid atau Barca?
Lantas apa maksud hadits di atas? Saya dulu pernah menjelaskan soal politik identitas. Saya kutip sebagian:
Pada masa Nabi Muhammad hidup lima belas abad yang lampau, identitas keislaman menjadi sesuatu yang sangat penting. Tapi bagaimana membedakan antara Muslim dengan non-Muslim saat itu? Bukankah mereka sama-sama orang Arab yang punya tradisi yang sama, bahasa yang sama bahkan juga berpakaian yang sama? Untuk komunitas yang baru berkembang, loyalitas ditentukan oleh identitas pembeda.
Pernah pada suatu waktu, orang kafir menyatakan masuk Islam di pagi hari, dan kemudian duduk berkumpul bersama-sama komunitas membicarakan strategi dakwah, tapi di sore hari orang itu menyatakan dia kembali kafir lagi. Maka, murkalah Nabi. Tindakan itu dianggap sebuah pengkhianatan terhadap loyalitas komunal. Di sini muncullah hukuman mati terhadap orang murtad, yang di abad modern ini mirip dengan hukuman terhadap pengkhianat dan pembocor rahasia negara.
Mulailah Nabi Muhammad melakukan konsolidasi internal: loyalitas dibentengi dengan identitas khusus. Nabi melakukan politik identitas: umat Islam dilarang menyerupai kaum Yahudi, Nasrani, Musyrik bahkan Majusi. Maka, keluarlah aturan pembeda identitas dari soal kumis-jenggot, sepatu-sendal, dan warna pakaian. Pesannya simpel: berbedalah dengan mereka. Jangan menyerupai mereka, karena barang siapa yang menyerupai mereka, maka kalian sudah sama dengan mereka.
Inilah konteks hadits di atas: politik identitas dari Nabi untuk komunitas Islam saat itu. Nah, para ustaz jaman now yang gemar mengutip hadits tasyabuh ini sebenarnya juga hendak mengukuhkan identitas keislaman kita bahwa kita berbeda dengan “mereka”. Namun para ustaz lupa bahwa kita tidak lagi hidup di komunitas terbatas seperti perkampungan Madinah 15 abad lalu.
Kita sekarang sudah menjadi citizen of the world (warga dunia). Kondisi sudah berubah, identitas keislaman tidak akan tergerus oleh pembeda yang berupa asesoris semata. Identitas keislaman saat ini adalah akhlak yang mulia.
Secara sanad, hadits di atas juga tidak diriwayatkan oleh dua kitab utama, Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Para ulama hadits juga berbeda menentukan derajat hadits itu. Ada yang mensahihkan, ada yang memandang hadits itu hasan, bahkan ada pula yang mendhaifkannya. Bagi yang mengkritik perawi hadits di atas, mereka misalnya menemukan persoalan pada Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban.
Ahmad bin Hanbal mengatakan hadits yg diriwayatkan perawi ini munkar. Abu Dawud mengatakan tidak mengapa dengannya. An-Nasa’i mengatakan dha’if. Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa yang bersangkutan itu jujur, tapi sering keliru, dianggap bermazhab Qadariyyah, dan berubah hapalannya di akhir usianya.
Mengapa para ustaz tidak menjelaskan perbedaan status sanad hadits ini dan juga konteks kemunculannya? Saya berbaik sangka para ustaz tidak punya kesempatan yang cukup untuk menjelaskannya di video youtube mereka yang viral itu. Wa Allahu a’lam.
Saya ingin sekali lagi menunjukkan betapa pentingnya memahami hadits sesuai konteksnya. Misalnya ada riwayat:
“Berbedalah kalian dengan Yahudi, karena mereka salat tidak pakai sandal dan sepatu” (HR Abu Daud).
Guru saya, Prof Dr KH Ali Mustafa Ya’qub, pernah menjelaskan bahwa kondisi masjid di zaman Nabi itu tidak pakai lantai. Hanya beralaskan tanah atau pasir. Maka, kita paham konteksnya. Bayangkan kalau hadits ini sekarang kita pakai apa adanya dan kita masuk masjid dengan sandal dan sepatu. Kita akan diteriakin bahkan mungkin dianggap penista Islam. Itulah gunanya memahami konteks hadits.
Yang dulunya diwajibkan, malah bisa dilarang, ketika konteksnya berubah. Abu Yusuf, murid utama Imam Abu Hanifah, dengan cerdas mengeluarkan kaidah: “Jika suatu nash muncul dilatarbelakangi sebuah tradisi, dan kemudian tradisi itu berubah, maka pemahaman kita terhadap nash itu juga berubah.”
Di samping itu, tidak benar kalau Rasulullah selalu hendak berbeda dengan kaum non-Muslim. Misalnya HR Bukhari-Muslim ini:
“Nabi SAW tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya, “Apa ini?” Mereka menjawab : ”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka, beliau Rasulullah menjawab : ”Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.”
Saya sudah jelaskan bahwa cara berpakaian orang Arab baik Muslim maupun non-Muslim saat itu serupa, maka penanda yang tampak seperti tampak di wajah itu menjadi penting bagi identitas keislaman pada saat itu seperti riwayat ini:
“Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR Muslim).
Tapi bagaimana dengan model sisiran? Ternyata Nabi tidak menyelisihi non-Muslim. Kenapa? Karena rambut tertutup sorban sehingga apa pun model sisiran rambut tidak akan menjadi penanda identitas. Perhatikan riwayat ini:
“Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah dahulunya menyisir rambut beliau ke arah depan hingga kening, sedangkan orang-orang musyrik menyisir rambutnya ke bagian kiri-kanan kepala mereka, sementara itu Ahlul Kitab menyisir rambut mereka ke kening. Rupanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih suka bila bersesuaian dengan apa yang dilakukan oleh Ahlul Kitab dalam perkara yang tidak ada perintahnya. Namun kemudian hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyisiri rambutnya ke arah kanan-kiri kepala beliau”. (HR Bukhari)
Nah, kalau kita memahami teks riwayat di atas secara apa adanya, apa kita berani mengatakan bahwa Rasulullah serupa dengan non-Muslim dan telah menjadi bagian dari mereka hanya karena model sisirannya sama? Yang heboh nanti sobat saya, Kang Maman Suherman, yang plontos itu. Dia akan bingung mau nyisir model apa biar gak dianggap kafir!
Begitu juga soal jenggot dan kumis, kini tidak lagi menjadi satu-satunya pembeda antara identitas Muslim dengan non-Muslim. Banyak selebriti yang sekarang memelihara jenggot dan tidak berkumis, begitu juga para tokoh non-Muslim yang juga seperti itu. Apa mereka menjadi Muslim atau kita yang menjadi kafir gegara punya jenggot?
Sekarang bagaimana dengan perayaan tahun baru? Bagaimana dengan perayaan Valentine? Bagaimana dengan ucapan selamat hari ibu, selamat ulang tahun, selamat atas wisuda, selamat atas promosi jabatan? Bagaimana kalau kita pakai celana jeans, atau dasi dan jas?
Untuk perempuan, tahukah Anda sejarah bra? Zaman Rasul gak ada muslimah yang pakai bra, itu tradisi Eropa abad ke-18. Bolehkah Anda sekarang pakai bra? Untuk yang lelaki, bagaimana kalau kita pakai topi cowboy atau topi ulang tahun, atau topi santa?
Saya sudah jelaskan konteks hadits tasyabuh dan dikaitkan dengan hadits lain serta pemahaman kita akan interaksi berbagai budaya di dunia. Kembali ke contoh awal di tulisan saya ini, apa Anda lantas merasa jadi kafir hanya karena makan dengan sumpit dan menonton atau ikut bermain sepak bola?
Dalam tradisi hukum Islam dikenal kaidah al-‘adah muhakkamah. Tradisi yang tidak bertentangan langsung dengan pokok-pokok akidah itu bisa diakui dan diakomodir dalam praktik maupun ekspresi keislaman kita. Kaidah ini membuat Islam bisa menerima berbagai budaya tanpa harus kehilangan identitas keislaman kita. Itu pula yang dilakukan Walisongo saat mengakomodir budaya dan tradisi Nusantara.
Saya tidak ingin memberi fatwa boleh atau tidaknya merayakan ini dan itu, boleh tidaknya memakai ini dan itu. Anda putuskan sendiri saja. Semoga penjelasan saya ini cukup menjadi bahan pertimbangan Anda. Hidup ini pilihan. Selamat memilih, dan Selamat Tahun Baru 2018!(junaSr)
Sumber :geotimes.co.id