Pesantren, entah yang klasik atau yang modern, telah terbukti menghasilkan banyak orang hebat. Alumni pesantren bisa berkiprah di mana saja. Bahkan, ada alumni pesantren yang bisa menjadi presiden, menteri, birokrat, ekonom, profesor, dan sederet profesi mentereng lainnya.
Ini tentu saja membuktikan bahwa pendidikan pesantren tidak dapat dipandang sebelah mata. Apa sebetulnya yang membuat pendidikan model pesantren bisa menghantarkan alumni-alumni sukses di masa depannya? Ini 5 rahasianya:
1. Dapat Bimbingan Intensif dari Kiai
Salah satu kunci sukses menuntut ilmu adalah mendapat perhatian khusus dan bimbingan yang intensif dari guru. Di pesantren, anak akan selalu mendapat sentuhan spiritual maupun moral dari seorang kiai.
Selain selalu mendoakan santrinya, kiai juga selalu memantau perkembangan para santrinya, baik lahir maupun batin. Sehingga, anak tidak hanya belajar untuk menjadi orang pandai saja, tetapi juga dididik agar menjadi orang yang dapat mengamalkan ilmu yang ia dapat di pondok.
Betul, tanpa di pesantren pun anak-anak kita dapat mengakses kajian Islam apa pun yang dia inginkan dengan bantuan internet.
Namun, ilmu yang didapatkan, mungkin tidak akan menyentuh psikologi-spritualitas si anak. Bukankah ada pesan dalam bahasa Arab yang mengatakan, “man laisa lahu syaikh fi al-ta’allum, fa syaikhuhu syaithan (seseorang yang belajar tanpa bimbingan guru, maka gurunya adalah setan)”.
2. Belajar Sederhana dan Mandiri
Pesantren adalah salah satu lembaga yang dapat mengajarkan anak mengerti arti kesederhanaan sesungguhnya. Tidur di atas kasur lipat, makan seadanya, mencuci pakaian sendiri, merapihkan lemari sendiri, dan lain sebagainya.
Jika sejak dini anak diajarkan kesederhanaan, paling tidak ketika dia besar dapat meminimalisir sifat-sifat tamak yang sering kita saksikan dari pejabat korup di negeri ini. Sehingga, dari kesederhanaan yang ia jalankan, sifat kemandirian akan muncul dengan sendirinya.
Yakinlah, anak tidak akan sengsara seperti kekhawatiran banyak orangtua. Bukankah Nabi Muhamad sejak kecil tidak sempat merasakan kasih sayang orangtuanya setelah keduanya meninggal? Justru, menitipkan anak di pesantren itu bagaikan mendidik anak agar mandiri seperti Nabi yang jadi panutan umat Islam di seluruh dunia. Ingin bukan, kalau anak menjadi panutan banyak umat?
3. Belajar Mengenali Lingkungan
Para santri yang belajar di pesantren, biasanya datang dari berbagai latar belakang yang berbeda, baik dari suku, budaya, bahasa, dan lain sebagainya. Perbedaan latar belakang tentu mempengaruhi terhadap karakter orang itu sendiri.
Orang Madura berbeda dengan orang Sunda, orang Jawa berbeda dengan orang Padang, dan begitupun seterusnya. Dari sini, anak akan belajar banyak sekali terkait perbedaan antar sesama penduduk Indonesia yang berada dalam teritorial yang berbeda.
Sehingga, hal ini bermanfaat untuk anak di masa depannya agar memiliki sikap toleransi yang diajarkan oleh Islam dan dapat dengan mudah mengenali masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya.
4. Belajar Bertanggung Jawab
Pesantren juga mengajarkan bagaimana anak dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Bila dia bersalah, maka pondok memberikannya sangsi berupa takzir, seperti digundul, membersihkan halaman sekitar pondok, menghapal pelajaran, dan lain sebagainya.
Sanksi tersebut diharapkan dapat menyadarkan bahwa perbuatan melanggar aturan itu adalah tidak baik. Tentu, akan tergambar dalam benaknya bahwa santri yang ditakzir adalah santri yang tidak baik.
Sanksi tersebut diharapkan dapat menyadarkan bahwa perbuatan melanggar aturan itu adalah tidak baik. Tentu, akan tergambar dalam benaknya bahwa santri yang ditakzir adalah santri yang tidak baik.
Sehingga, sanksi tersebut dapat menanamkan dalam benak anak untuk berani bertanggung jawab bila ia melanggar peraturan yang ditetapkan pondok. Bukankah permasalahan terbesar bangsa ini adalah lemahnya penerapan hukum?
5.Ikhlas Berbuat untuk Masyarakat
Ingat pesan Nabi yang ini: “Sebaik-baik manusia adalah dia yang bermanfaat untuk sesama” (H.R.Thabrani)? Nah, pondok merupakan salah satu sarana bagaimana anak peka terhadap lingkungannya tanpa mengharapkan imbalan, apalagi sampai mentarif bayaran tertentu.
Jadi, sejak dini anak sudah ditanamkan sifat-sifat “malaikat” yang membantu orang yang membutuhkan tanpa mengharap imbalan tertentu. Bahkan, Al-Munawi dalam Faidhul Qadir mengatakan bahwa maksud manusia yang terbaik dalam Hadis di atas adalah pemimpin yang adil.
Ketika seseorang sudah dapat berlaku adil, maka tawaran materi sebesar apa pun akan ia tolak. Ini berarti dia telah ikhlas berbuat untuk masyarakatnya.(JunaSr)
sumber:datdut