Pringsewu. Malam jelang puncak Hari Santri 2018, Ahad (21/10), masyarakat Pringsewu berziarah ke makam KH Gholib. Kiai yang sangat masyhur di Bumi Secancanan Bersenyum Manis ini merupakan sosok ulama sekaligus pejuang kharismatik yang sangat dicintai warga Kabupaten Pringsewu.
KH Gholib dillahirkan pada tahun 1899 di Kampung Mojosantren, Krian, Jawa Timur. Ayah beliau bernama K. Rohani Bin Nursihan dan ibunya bernama Muksiti. Perjuangan dan perlawanan KH Gholib terhadap tentara Jepang dimulai tahun 1942.
KH Gholib melawan tentara Jepang dengan menggunakan senjata sederhana seperti pedang, golok, keris dan bambu runcing. KH Gholib pernah ditangkap oleh tentara Jepang dikarenakan pengaruh beliau yang sangat besar dalam masyarakat dan karena beliau tidak mau ikut ajaran Jepang yang menyembah matahari (Tenno Hei Ka).
Pada tanggal 6 November 1949 KH Gholib meninggal ditembak oleh tentara Belanda. Saat itu beliau dijemput untuk melakukan perundingan dengan tentara Belanda. Beliau di khianati dan ditawan kemudian dibunuh di depan sebuah gereja di Pringsewu. Jasad beliau dimakamkan di wilayah kelurahan Pringsewu Barat.
“Saat inilah kita yang menikmati hasil perjuangan para ulama, santri dan pejuang. Adalah kewajiban kita untuk berterimakasih kepada para syuhada dan bersyukur kepada Allah melalui upaya sekuat tenaga kita mempertahankan kemerdekaan dan mengisinya dengan hal yang baik,” demikian kisah dan ajakan Bupati Pringsewu, KH Sujadi saat hadir pada ziarah bersama warga masyarakat tersebut.
Untuk mengabadikan nama KH Gholib, Bupati Pringsewu menanda tangani sebuah prasasti yang meneguhkan nama jalan menuju makam tersebut sebagai Jl. Makam KH Gholib. Di iringin bacaan “Hasbi Rabbi Jallallah. Ma Fi Qalbi Ghairullah. Alal Hadi Shallallah. Laa Ilaaha Illallah” Bupati yang juga seorang santri ini menggoreskan tanda tangannya di atas prasasti tersebut.
Selain itu, Bupati juga menuliskan ayat Al-Qur’an surat Yunus ayat 62 di atas pintu masuk makam KH Gholib yakni “Alaa Inna Awliyaa Allaahi Laa Khawfun Alayhim walaa Hum Yahzanuun” yang berarti “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
“Jasad para syuhada dan auliya sudah terbaring dalam kubur. Mereka sudah meninggal dunia namun sejatinya mereka masih hidup,” kata Abah Jadi, begitu sapaan bupati alumni Pesantren Kalibeber Wonosobo Jawa Tengah ini.
Oleh karena itu dalam momentum Hari Santri 2018 kali ini, Abah Sujadi mengajak kepada seluruh umat Islam di Nusantara untuk terus menerus mendoakan para ulama dan pejuang yang telah mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan Indonesia. Dengan langkah ini diharapkan saat tutup usia dipanggil oleh Allah SWT, umat Islam yang mendoakan akan berada bersama mereka dan Rasulullah SAW.
Hadir pada ziarah dan penandatanganan prasasti tersebut Ketua MUI Kabupaten Pringsewu KH Hambali, Ketua PCNU Pringsewu H Taufik Qurrahim, para pengasuh pondok pesantren dan para tokoh masyarakat sekitar makam. (Muhammad Faizin)
Sumber :NUonline