al-Zastrouw
Pasca Pilpres, benih kebencian terlihat tumbuh subur di kalangan masyarakat. Benih ini spertinya makin merebak karena dipupuk dengan fitnah yang terus ditebar dan provokasi yang terus dikobarkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, secara pelan namun pasti bangsa ini tengah mengarah pada keretakan. Masing-masing pihak seolah tersekat oleh dindinding pemisah yang tidak terlihat tapi terasakan, tidak tampak tapi nyata. Ya dinding kebencian dan kecurigaan yang makin tebal dan mengeras.
Melihat kondisi seperti ini, jadi teringat pada salah satu hadits Nabi yang mengingatkan bahaya mencintai terlalu dalam. Beliau menyatakan: “Ahbib habibaka haunan ma, “asa an yakuuna baghidloka yauman ma. Wa abghidl baghidloka haunan ma, ‘asa an yakuuna habibaka yauman man (cintailah kekasihmu sekedarnya saja, boleh jadi kamu akan membencinya suatu ketika,. Dan bencilah orang yang kamu benci sewajarnya, boleh jadi suatu ketika kamu akan mencitainya; HR. Tirmidzi)
Hadits ini mengingatkan kita bagaimana labilnya perasaan cinta. Apalagi cinta yang hanya berdasar nafsu atau hal-hal yang terkait dengan urusan dunia. Lebih-lebih lagi yang rerkait dalam urusan politik. Tak ada sesuatu yang permamen dalam politik, perubahannya lebih dinamis dan cepat. Untuk itu perlu ada ruang untuk balik arah jika perubahan itu terjadi agar mudah move on.
Jika hadits ini diletakkan dalam konteks politik, khususnya Pilpres maka akan berbunyi, “dukunglah Capresmu sekedarnya, karena boleh jadi dia akan meninggalkamu suatu saat. Dan bencilah Capres lain sekedarnya karena boleh jadi suatu ketika justru dia yang akan memperjuangkanmu. Demikianlah politik, tak ada yang abadi.
Atas dasar ini, maka sangat tidak layak menghabiskan segala energi dan mempertaruhkan semua potensi kebangsaan demi mendukung dan membela seoramg Capres. Apalagi mengkaitkannya dengan masalah akidah sehingga muncul istilah Jihad, perang Badar dan tudingan kafir kepada kompok lain yang berbeda pilihan. Selain.menyesatkan, klaim seperti ini juga bisa merusak keberagaman dan persatuan bangsa yang pada ujungnya bisa mengancurkan sendi-sendi kehidupan bernegara.
Dalam.konteks Indonesia Pilpres adalah konrestasi politik dalam rangka fastibiqul khairat (berlomba mewujudkan kebaikan). Ini terjadi karena yang sedang berkontestasi adalah antar sesama ummat Islam. Artinya ada ummat Islam, ulama dan Habaib yang menjadi pendukung masing-masing kandidat. Oleh karenanya sangat tidak tepat meggunakan ayat-ayat perang dan klaim agama dalam Pilpres. Karena semua Capres dan Cawapres dan pendukungan sama-sama beragama Islam.
Perbedaan pilihan hanya persoalan khilafiyah terhadap hal yang furu’ (cabang) bukan ushul (pokok) karena tidak terkait masalah akidah. Selain kandidat dan pendukungnya yang sama-sama ada unsur ummat Islam dan para ulama, keduanya kubu juga sama2 menggunakan perspektif agama dalam mementukan pilihan. Ini artinya menentukan pilihan pada salah satu kandidat dalam Pilpres itu sifatnya ijtihady (hasil ijtihad) bukan sesuatu yang qath’i (pasti).
Penggunaan klaim agama dalam Pilpres berarti menganggap sesuatu yang ijtihadi menjadi qath”i. Akibatnya terjadi kesombongan iman karena merasa hanya kelompoknya yang paling benar dan paling beriman sementara kompok lain yang berbeda pilihan dianggap sesat dan kafir.
Sikap over klaim seperti inilah yang menyebabkan tumbuhnya raaa cinta dan benci pada salah satu kandidat secara berlebihan dan membabi buta sehingga mengalahkan akal sehat. Jika sikap seperti ini diteruskan maka tidak saja merusak persaudaraan sesama warga bangsa tetapi juga beresiko terjadinya distorsi agama.
Untuk mencegah terjadinya keretakan sosial yang makin parah dan mempercepat terjadinya rekonsiliasi sosial antar sesama anak bangsa, maka perlu mengembalikan posisi Pilpres sebagai ajang fastabiqul khairat antar sesama muslim, bukan sebagai medan pertarungan akidah yang melahirkan spirit jihad. Tak ada akidah yang terancam dalam Pilpres karena baik kandidat maupun para pendukungnya semua sama-sama Islam. Tak ada akidah yang dikorbankan dengan menerima siapa saja yang terpilih secara ikhlas dan apa adanya.
Dengan menempatkan Pilpres sebagai ajang fastabiqul khairat, maka tidak perlu mendukung dan membenci Capres-Cawapres secara berlebihan. Selain bertentangan dengan agama sikap berlebihan akan membuat seseorang bersikap tidak adil (dholim). Selain itu juga bisa menutup jalan diri ketika keadaan berbalik arah, sehingga susah untuk mobe on. Akibatnya masing-masing kelompok akan terpenjara dalam sekat kebencian dan prasangka.
Sekat itu akan hancur jika masing’-masing pihak mampu mencintai sewajarnya dan mendukung sekedarnya pada para Capres, sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad dalam hadits di atas. Dengan bersikap mendukung dan membeci sewajarnya pintu rekonsiliasi akan terbuka.***
Sumber:watyutink.com