Oleh: Ustadz Zaenal Karomi*
Assalamualaikum Wr Wb Ustadz. Saya punya pertanyaan. Ada sebagian golongan berpendapat bacaan sayyidina kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW dalam shalat tidak boleh, tapi kalau di luar shalat tidak apa-apa katanya. Mereka mengatakan shalat itu ibadah mahdlah yang tidak boleh di tambah-tambahi, karena nabi tidak pernah membaca Sayyidina Muhammad dalam shalat. Atas perhatian & jawaban kami sampaikan terimakasih. Wassalam.
Husni, Surabaya.
Dalam hadis diterangkan tentang sighat shalawat Nabi Muhammad SAW pada saat keadaan tassyahud, yaitu dalam Shahih Bukhiri juz 8 halaman 422 yang berbunyi:
صحيح البخاري – 8 / 442
حَدَّثَنَا قَيْسُ بْنُ حَفْصٍ وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا أَبُو فَرْوَةَ مُسْلِمُ بْنُ سَالِمٍ الْهَمْدَانِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عِيسَى سَمِعَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي لَيْلَى قَالَ لَقِيَنِي كَعْبُ بْنُ عُجْرَةَ فَقَالَ أَلَا أُهْدِي لَكَ هَدِيَّةً سَمِعْتُهَا مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ بَلَى فَأَهْدِهَا لِي فَقَالَ سَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ الصَّلَاةُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ عَلَّمَنَا كَيْفَ نُسَلِّمُ عَلَيْكُمْ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Artinya: “Telah bercerita kepada kami [Qais bin Hafsh] dan [Musa bin Isma’il] keduanya berkata telah bercerita kepada kami [‘Abdul Wahid bin Ziyad] telah bercerita kepada kami [Abu Farwah Muslim bin Salim Al Hamdaniy] berkata telah bercerita kepadaku [‘Abdullah bin ‘Isa] dia mendengar [‘Abdur Rahman bi Abi Laila] berkata; [Ka’ab bin ‘Ujrah] menemui aku lalu berkata; “Maukah kamu aku hadiahkan suatu hadiah yang aku mendengarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”. Aku jawab; “Ya, hadiahkanlah aku”. Lalu dia berkata; “Kami pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam; “Wahai Rasulullah, bagaimana caranya kami bershalawat kepada tuan-tuan kalangan Ahlul Bait sementara Allah telah mengajarkan kami bagaimana cara menyampaikan salam kepada kalian?”. Maka Beliau bersabda: “Ucapkanlah; Allahumma shalli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aali Muhammad kamaa shollaita ‘alaa Ibrahiim wa ‘alaa aali Ibrahim innaka hamiidun majid. Allahumma baarik ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aali Muhammadin kamaa baarakta ‘alaa Ibrahiim wa ‘alaa aali Ibrahim innaka hamiidun majiid” (Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahiim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah berilah barakah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi barakah kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Mulia)”. (HR. Bukhori)
Lalu bagaimana dengan penambahan “sayyidina” dalam sighat shalawat Nabi Muhammad pada saat tassyahud? Jawabannya ada dalam kitab Tuhfatul Muhtaj juz 6 halaman 126 karya al Imam Ahmad Syihabuddin bin Hajar al Haitami as Syafi’i, yang biasa dikenal dengan nama Ibnu Hajar al Haitami. Berikut pernyataan beliau:
تحفة المحتاج في شرح المنهاج (6/ 126
( قَوْلُهُ عَلَى مُحَمَّدٍ ) وَالْأَفْضَلُ الْإِتْيَانُ بِلَفْظِ السِّيَادَةِ كَمَا قَالَهُ ابْنُ ظَهِيرَةَ وَصَرَّحَ بِهِ جَمْعٌ وَبِهِ أَفْتَى الشَّارِحُ لِأَنَّ فِيهِ الْإِتْيَانَ بِمَا أُمِرْنَا بِهِ وَزِيَادَةُ الْإِخْبَارِ بِالْوَاقِعِ الَّذِي هُوَ أَدَبٌ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ تَرْكِهِ وَإِنْ تَرَدَّدَ فِي أَفْضَلِيَّتِهِ الْإِسْنَوِيُّ ، وَأَمَّا حَدِيثُ { لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ } فَبَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ كَمَا قَالَهُ بَعْضُ مُتَأَخِّرِي الْحُفَّاظِ وَقَوْلُ الطُّوسِيِّ أَنَّهَا مُبْطِلَةٌ غَلَطٌ شَرْحُ م ر ا هـ سم عِبَارَةُ شَرْحِ بَافَضْلٍ وَلَا بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ ا هـ وَقَالَ الْمُغْنِي ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ اعْتِمَادُ عَدَمِ اسْتِحْبَابِهَا ا هـ وَتَقَدَّمَ عَنْ شَيْخِنَا أَنَّ الْمُعْتَمَدَ طَلَبُ زِيَادَةِ السِّيَادَةِ وَعِبَارَةُ الْكُرْدِيِّ وَاعْتَمَدَ النِّهَايَةُ اسْتِحْبَابَ ذَلِكَ وَكَذَلِكَ اعْتَمَدَهُ الزِّيَادِيُّ وَالْحَلَبِيُّ وَغَيْرُهُمْ وَفِي الْإِيعَابِ الْأَوْلَى سُلُوكُ الْأَدَبِ أَيْ فَيَأْتِي بِسَيِّدِنَا وَهُوَ مُتَّجِهٌ ا هـ .قَالَ ع ش قَوْلُهُ م ر لِأَنَّ فِيهِ الْإِتْيَانَ إلَخْ يُؤْخَذُ مِنْ هَذَا مِنْ سَنِّ الْإِتْيَانِ بِلَفْظِ السِّيَادَةِ فِي الْأَذَانِ وَهُوَ ظَاهِرٌ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ تَعْظِيمُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَصْفِ السِّيَادَةِ حَيْثُ ذَكَرَ ا هـ .
Dalam keterangan diatas yang dimaksud dengan al ikhbar bil waqi’ itu adalah mengatakan yang sesuai dengan kenyataan. Bahwa Nabi Muhammad itu adalah sayyid atas semua makhluk. Logikanya begini, seperti contoh memanggil Pak Jokowi. Dengan menambahkan Bapak Presiden Jokowi dirasa lebih memulyakan/penghormatan ketimbang Pak Jokowi saja. Ungkapan Sayyidina adalah bentuk penghormatan dan pengaggungan kepada kekasih Allah yang paling mulia.
Dalam kitab Hasyiah al Bajuri juz 1 halaman 156 juga diterangkan bahwa membaca lafad siyadah kepada Nabi adalah bentuk tata krama yang baik.
الأوْلَى ذِكْرُالسَّيِّادَةِ لِأنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَ بِ
Yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW), karena hal yang lebih utama bersopan santun (kepada Beliau).” (Hasyisyah al Bajuri, juz I, hal 156).
Kedua ibarat di atas didasarkan kepada hadis:
عن أبي هريرةقا ل , قا ل ر سو ل الله صلي الله عليه وسلم أنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَأوَّلُ مَنْ يُنْسَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأوَّلُ شَافعٍ وأول مُشَافِعٍ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk membrikan syafa’at.” (Shahih Muslim, 4223).
Membaca Sayyidina di dalam Shalat
Ada ungkapan:
لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ
Ungkapan tersebut seakan melarang mengucapkan sayyidina, yang artinya “Jangan kalian mengucapkan lafad sayyidina di dalam shalat. Tentusaja sebagian kelompok menggunkan hadis tersebut sebagai dalil pelarangan mengucapkan sayyidina. Namun, muhadis dan huffadz hadis seperti yang dikatakan Ibnu Hajar al Haitami di atas adalah hadis yang batil, bisa dikatakan maudhu’ alias palsu.
Dari segi gramatika Arab pun menurut KH Muhyiddin Abdusshomad Jember tidak tepat. Asal kata “Sayyid” adalah سَادَ- يَسُوْدُ bukan سَادَ-يَسِيْدُ maka yang benar adalah لَا تُسَوِّدُوْنِيْ bukan لَا تُسَيِّدُوْنِيْ. Sudah jelas keliru.
Membaca “Sayidina Muhammad” dalam tasyahhud saat shalat diperbolehkan menurut fatwa 3 madzhab. Sementara dalam Madzhab Hanabilah tidak dianjurkan membaca Sayidina dalam shalat namun diperbolehkan membaca Sayidina di luar Salat.
– Madzhab Maliki
وَذَكَرَ عَنْ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ أَنَّ الْإِتْيَانَ بِهَا فِي الصَّلَاةِ يَنْبَنِي عَلَى الْخِلَافِ هَلْ الْأَوْلَى امْتِثَالُ الْأَمْرِ أَوْ سُلُوكُ الْأَدَبِ؟ ( قُلْت ) وَاَلَّذِي يَظْهَرُ لِي وَأَفْعَلُهُ فِي الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا الْإِتْيَانُ بِلَفْظِ السَّيِّدِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ . (مواهب الجليل في شرح مختصر الشيخ خليل – ج 1 / ص 69)
“Dia menyebutkan dari Syaikh Ibnu Abdissalam bahwa menambah lafad ‘Sayyid’ dalam shalat didasari perbedaan pendapat apakah yang utama mengikuti perintah Nabi atau melaksanakan etika? Saya berkata: Yang jelas bagi saya dan yang saya lakukan di dalam shalat atau lainnya adalah menyebut “Sayyid” (Mawahib al-Jalil 1/69)
– Madzhab Syafi’i
ﻭاﻷﻓﻀﻞ اﻹﺗﻴﺎﻥ ﺑﻠﻔﻆ اﻟﺴﻴﺎﺩﺓ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻟﻪ اﺑﻦ ﻇﻬﻴﺮﺓ ﻭﺻﺮﺡ ﺑﻪ ﺟﻤﻊ ﻭﺑﻪ ﺃﻓﺘﻰ اﻟﺸﺎﺭﺡ
Yang utama adalah membaca “Sayyid” seperti yang disampaikan oleh Ibnu Dzahirah dan dijelaskan oleh sekelompok ulama. Syaikh al Mahalli juga memfatwakan hal yang sama (Nihayatul Muhtaj, 1/530)
– Madzhab Hanafi
وَنُدِبَ السِّيَادَةُ لِأَنَّ زِيَادَةَ الْإِخْبَارِ بِالْوَاقِعِ عَيْنُ سُلُوكِ الْأَدَبِ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ تَرْكِهِ ، ذَكَرَهُ الرَّمْلِيُّ الشَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُ (رد المحتار – ج 4 / ص 91
“Dianjurkan membaca ‘Sayyid’, karena menyampaikan realitas adalah bentuk etika yang sebenarnya. Hal ini lebih utama daripada meninggalkannya. Hal itu juga disampaikan oleh Ramli al Syafii dan beberapa ulama lainnya” (Ibnu Abidin, Rad al-Mukhtar, 4/91)
– Madzhab Hanbali
ﻭﺫﻛﺮ اﻟﺤﺎﻓﻆ اﻟﺴﺨﺎﻭﻱ ﻓﻲ ﺁﺧﺮ اﻟﺒﺎﺏ اﻷﻭﻝ ﻣﻦ اﻟﻘﻮﻝ اﻟﺒﺪﻳﻊ ﻛﻼﻣﻪ ﻭﺫﻛﺮ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻣﻔﻠﺢ اﻟﺤﻨﺒﻠﻲ ﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ (مواهب الجليل في شرح مختصر الشيخ خليل – ج 1 / ص 69) “
Pendapat yang pertama (membaca Sayidina di luar shalat dan tidak membaca Sayidina dalam shalat) disampaikan oleh al-Hafidz as-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’ dan Ibnu Muflih al-Han.
Demikian ulasan kami tentang hukum membaca sayyidina untuk menyebutkan nama Nabi Muhammad SAW di dalam dan di luar shalat.
Di antara 4 madzhab hanya Hanbali yang malarang dibaca di dalam shalat dan boleh di luar shalat. Membaca sayyidina adalah bentuk pengagungan dan penghormatan kepada junjungan kita. Kalaulah menyebut bupati saja kita bakai kata-kata penghormatan seperti Bapak Bupati yang kami muliakan, kenapa kepada Nabi Muhammad SAW makhluk paling mulia saja dipermasalahkan? Wallahu a’lam.
*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari dan penggerak Bahsul Masa’il di Tebuireng
Sumber:tebuirengonline
Foto: dakwahwebid