Kejadian ini mulanya aku anggap kejadian biasa. Namun
setelah terjadi lima sampai enam kali aku menjadi kepikiran, pasti
bukan suatu kebetulan.
Pada bulan-bulan tertentu, sebagai mubalig, aku harus
keliling daerah memenuhi undangan mengisi pengajian. Hampir
setiap bulan aku keliling daerah yang berbeda untuk memenuhi
undangan ini. Capek juga rasanya. Ingin sekali sebenarnya aku
menghentikan kegiatan seperti ini. Selain karena harus menempuh
jarak yang cukup melelahkan, praktis waktu dengan keluarga
berkurang. Pasalnya setiap aku pulang, hampir istri dan semua
anakku sudah tidur.
Kalau pengajian ini jelas pengaruhnya pada jamaah sih
tidak jadi masalah. Ini tidak. Pengajian yang begitu intens dan begitu
tinggi volumenya itu seperti tidak ada hikmahnya. Tak membekas.
Yang bakhil ya tetap bakhil, yang jahat ya tetap jahat, pendeknya
seolah tidak ada korelasi antara pengajian dengan mereka yang di
beri pengajian.
Tapi biarlah, aku ceritakan saja pengalamanku. Biasanya
selesai memberi pengajian selalu aku melayani para jamaah yang
ingin bersalaman kepadaku. Pada saat itu, ada seorang jamaah yang
memberi salam tempel kepadaku, bersalaman sambil memberi
amplop. Mulanya aku tidak memperhatikan, bahkan aku anggap
orang itu salah seorang panitia.
Tapi setelah terjadi lagi pada pengajian berikutnya yang
bertempat jauh dari pengajian pertama, barulah aku mulai
memperhatikan wajah orang yang memberi salam tempel. Pada waktu-waktu lain yang tempatnya berjauhan, kulihat memang yang
memberi salam tempel orang-orang itu juga. Orang yang selalu
berpakaian hitam-hitam, wajahnya bersih dan memiliki senyum yang
misterius. Tanpa berkata sepatah katapun, ia selalu menyelipkan
amplop yang merupakan buatan sendiri dan berwarna abu-abu. Jenis
warna kertas yang sangat jarang berada di desa-desa.
Sampai akhirnya aku suruh istriku untuk membuka
kembali seluruh amplop yang aku terima dari panitia- panitia
pengajian yang pernah kupenuhi undangannya. Memang aku hampir
sama sekali tidak pernah langsung membuka amplop-amplop
tersebut. Semua kuberikan pada istriku. Sampai akhirnya aku
temukan lima buah amplop abu-abu.
Aku mencoba mengurutkan tanggal-tanggal di lima
amplop tersebut. Kemudian membaca apa yang tertulis di masingmasing
amplop secara berurutan sesuai urutan tanggalnya. Aku
kaget. Semuanya justru nasehat untukku sebagai muballig.
Amplop pertama tertulis: “Ud’uu ilaa sabiili Rabbika
bilhikmati walmau’idzatil khasanah ….(ajaklah orang- orang kepada
Tuhanmu dengan jalan bijaksana dan nasehat yang baik…). Genuk,
Semarang, 8 Juli 2001.”
Amplop kedua: “Sebelum anda menasehati orang banyak,
sudahkah anda menasehati diri anda sendiri ? Cilegon, 11 Juli 2001”
Amplop ketiga: “amar ma’ruf dan nahi munkar seharusnya
disampaikan dengan cara yang ma’ruf juga. Beji, Tuban, 10
September 2001.”
Amplop keempat: ”Yassiruu wala tu’asiru ! (Berikan yang
mudah-mudah dan jangan mempersulit !) Duduk, Gresik, 4 Januari
2002.”
Amplop kelima: “Yaa ayyuhalladzina aamanuu lima
taquuluuna malaa taf’aluun ? Kabura maqtan indallahi antaquulu
malaa taf’alun ! (Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamumengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak melakukannya ? Besar
sekali kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang
kamu sendiri tidak melakukannya !) Batanghari, Lampung, 29 April
2002.”
Aku masih bingung, seingatku ada enam amplop abu-abu
yang pernah aku terima. Berarti masih kurang satu.
“Bu, benar hanya ini, amplop abu-abu itu ?” tanyaku.
“Benar, pak ! aku tidak lupa. Semua isinya sama, dua ratus
ribu.” Jawab istriku.
Aku masih mengingat-ingat jumlah yang pasti.
“Pak, lihat ini !” teriak istriku tiba-tiba. Masya Allah.
Kulihat lemari pakaian isteriku terbuka dan dari dalamnya
berhampuran uang ratusan ribu rupiah yang masih baru-baru. Di
antaranya kulihat terdapat amplop abu-abu. Berarti ini amplop
keenam itu.
Segera kubuka amplop itu dan kubaca isinya. Isinya:
”Wamal hayatud dunya illaa mata’ul ghurur! (Kehidupan duniawi
itu tidak lain hanya kesenangan yang memperdayakan !). Arafah, 9
Dhulhijah, 1418.”
Tidak seperti amplop-amplop yang lainnya, yang satu ini
juga terdapat tanda tangan dan nama sang pengirim, “Hamba Allah,
Khidir !” Subhanallah.
*)Penulis : KH.A.Musthofa Bisri
*)sumber : Buku “Lukisan Kaligrafi”