Masalah Seputar Kurban
1. Menjadikan Daging/Kulit Hewan Kurban Sebagai Upah
Bolehkah pemuka agama atau panitia memberikan sebagian kurban sebagai biaya penyembelihan?
Jawaban
Tidak boleh, karena kurban itu harus disedekahkan. Sebagaimana perintah Nabi Muhammad Saw kepada Sayyidina Ali bin Abi Tholib ra:
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَمَرَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى الْبُدْنِ وَلَا أُعْطِيَ عَلَيْهَا شَيْئًا فِي جِزَارَتِهَا
“Dari Ali ra. Beliau berkata: ” Nabi Saw memerintahku untuk mengurus unta-unta (kurban) dan aku tidak boleh memberikan sedikit pun bagi penyembelihnya.””
Maksudnya kurban tidak boleh digunakan untuk biaya penyembelihan. Namun jika penyembelih sudah diberi upahnya, lalu diberi kurban karena kefakirannya maka boleh. Seperti keterangan Imam An-Nawawi:
[ فَرْعٌ ] قَالَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيجِيّ وَالْأَصْحَابُ: إذَا أَعْطَى الْمُضَحِّي الْجَازِرَ شَيْئًا مِنْ لَحْمِ الْأُضْحِيَّةِ أَوْ جِلْدِهَا, فَإِنْ أَعْطَاهُ لِجِزَارَتِهِ لَمْ يَجُزْ, وَإِنْ أَعْطَاهُ أُجْرَتَهُ ثُمَّ أَعْطَاهُ اللَّحْمَ لِكَوْنِهِ فَقِيرًا جَازَ, كَمَا يَدْفَعُ إلَى غَيْرِهِ مِنْ الْفُقَرَاءِ, وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.“[Sub-masalah] As-Syaikh Abu Hamid, al-Bandaniji dan ulama Syafi’iyyah berpendapat: ” Jika orang yang berkurban memberi sebagian daging atau kulit kurban kepada penyembelih, maka jika ia memberinya karena (upah) penyembelihan maka tidak boleh dan jika ia telah memberikan upahnya kemudian memberi daging karena ia fakir, maka boleh. Seperti memberi orang-orang fakir lainnya. Wallohu Ta’ala A’lam.””
2. Menjadikan Kulit Hewan Kurban Sebagai Bedug.
Bolehkah kulit hewan kurban dibuat bedug?
Jawaban
Boleh. Kulit hewan kurban boleh dimanfaatkan dengan pemanfaat-an yang tidak merusaknya seke-tika. Seperti untuk dibuat sandal, bedug dan lain-lainnya. Juga boleh dipinjamkan, namun tidak boleh dikomersilkan, seperti disewakan, dijual, dijadikan upah dan lain-lainnya. Dalam kitab al-Majmu’ disebutkan:
فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ : يَجُوزُ أَنْ يُنْتَفَعَ بِجِلْدِ الْأُضْحِيَّةِ بِجَمِيعِ وُجُوهِ الِانْتِفَاعِ بِعَيْنِهِ فَيُتَّخَذُ مِنْهُ خُفًّا أَوْ نَعْلًا أَوْ دَلْوًا أَوْ فَرْوًا أَوْ سِقَاءً أَوْ غِرْبَالًا أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ, وَلَهُ أَنْ يُعِيرَهُ, وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُؤَجِّرَهُ
“Imam Syafi’i dan ulama madzhabnya berpendapat: “Kulit hewan kurban boleh dimanfaatkan dengan segala cara pemanfaatan ‘ain{barang}nya. Maka dapat dibuat muzah {sejenis sepatu}, sandal, timba, jubah berlapis bulu, wadah air, rebana atau sesamanya. Ia {orang yang berkurban} boleh meminjamkannya dan tidak boleh menyewakannya.””
3. Panitia/Pemuka Agama Mengambil Kurban Sendiri
Bolehkah Pemuka Agama atau Panitia mengambil bagiannya sendiri dan berapakah ukurannya?
Jawaban
Mereka boleh mengambil bagian-nya sendiri dengan ukuran yang tidak dilarang oleh pihak yang berkurban. Hal ini berdasarkan pada:
a. Mereka berhak menerima kurban.
b. Mereka adalah wakil dari pihak yang berkurban, sehingga pengaturan {tashoruf} mereka terbatasi oleh izin yang diberikan, baik lewat lisan atau kebiasaan yang berlaku {‘urf}.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa mereka tidak boleh semena-mena mengambil bagian kurban tanpa mempertimbangkan kerelaan pihak yang berkurban. Syaikh Sulaiman bin Mansur al-Jamal berkata:
وَهَلْ يَكْفِي اسْتِقْلَالُ الْمُسْتَحِقِّ بِالْأَخْذِ وَلَعَلَّ هَذَا نَظِيرُ مَا لَوْ اسْتَقَلَّ الْمُسْتَحِقُّونَ يَأْخُذُ الزَّكَاةَ بَعْدَ أَنْ نَوَاهُ كَالْمَالِكِ عِنْدَ تَمَيُّزِهَا فَلْيُحَرَّرْ
“Apakah sudah mencukupi (sebagai kurban), dengan pengambilan sepihak yang dilakukan oleh orang yang berhak? Mudah-mudahan ini perbandingan masalah, yakni andaikan orang-orang yang berhak bertindak sendiri mengambil zakat setelah ia niati seperti pemilik saat memenyisihkannya (dari barang yang lain).”
Ditambah keterangan Imam An-Nawawi:
(فَصْلٌ) وَلاَ يَمْلِكُ الْوَكِيْلُ مِنَ التَّصَرُّفِ إِلاَّ مَا يَقْتَضِيْهِ إِذْنُ الْمُوَكِّلِ مِنْ جِهَةِ النُّطْقِ أَوْ ِمنْ جِهَةِ الْعُرْفِ ِلأَنَّ تَصَرُّفَهُ بِاْلإِذْنِ فَلاَ يَمْلِكُ إِلاَّ مَا يَقْتَضِيْهِ اْلإِذْنُ وَاْلإِذْنُ يُعْرَفُ بِالنُّطْقِ وَبِالْعُرْفِ
“[Pasal] Wakil tidak memiliki hak mengatur(tashoruf) kecuali sebatas izin muwakkil(pihak yang mewakilkan) baik secara lisan maupun ‘urf, karena pentashorufannya disebabkan izin, maka ia hanya memiliki wewenang sebatas izinnya. Izin sendiri dapat diketahui secara lisan maupun ‘urf.”
4. Kurban untuk Keluarga yang Sudah Meninggal Tanpa Wasiat
Bolehkah berkurban untuk keluarga yang sudah meninggal tanpa ada wasiat dari mereka?
Jawaban
Khilaf. Menurut mayoritas ulama’ Syafi’iyyah tidak diperbolehkan. Karena, berkurban merupakan ibadah yang hukum asalnya tidak boleh dilakukan oleh orang lain tanpa ada dalil yang mendasariya. Syaikh Mahfudz at-Tarmasi dalam kitabnya, Mauhibah Dzi al-Fadl, juz VI halaman 692 menyebutkan:
لاَ تَجُوْزُ وَلاَ تَقَعُ التَّضْحِيَّةُ مِنْ شَخْصٍ عَنْ غَيْرِهِ الْحَيِّ ِلأَ نَّهَا عِبَادَةٌ وَاْلأَصْلُ مَنْعُهَا عَنِ الْغَيْرِ إِلاَّ ِلدَلِيْلٍ
” Tidak boleh dan tidak akan berhasil kurban seseorang menggantikan orang lain yang masih hidup, karena kurban adalah ibadah, sedangkan hukum asal adalah tercegah beribadah dari orang lain kecuali dengan dalil.”
Di samping itu, ternyata mereka tidak berwasiat, sehingga orang lain tidak dapat berkurban menggantikannya. Mereka membedakan antara berkurban dan shodaqoh, bahwa kurban menyerupai fida’ {penebusan diri}, sehingga jika dilakukan oleh orang lain harus terdapat izin dari pihak yang akan dilaksanakan kurbannya, berbeda dengan shodaqoh. Sebagaimana keterangan Syaikh Mahfudz at-Tarmasi dalam halaman berikutnya {693}:
وَلاَيُضْحِيْ أَحَدٌ عَنْ مَيّتٍ لَمْ يُوْصِ لِمَا مَرَّ وَفُرِّقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الصَّدَقَةِ بِأَنَّهَا تُشْبِهُ الْفِدَاءَ عَنِ النَّفْسِ فَتَوَقَّفَتْ عَلَى اْلإِذْنِ بِخِلاَفِ الصَّدَقَةِ وَمِنْ ثَمَّ لاَيَفْعَلُهَا وَارِثٌ وَأَجْنَبِيٌّ عَنِ الْمَيِّتَ وَإِنْ وَجَبَتْ بِخِلاَفِ نَحْوِ حَجٍّ وَزَكَاةٍ وَكِفَارَةٍ ِلأَنَّ هذِهِ لاَ فِدَاءَ فِيْهَا فَأَشْبَهَتِ الْمَدْيُوْنُ وَلاَ كَذلِكَ التَّضْحِيَّةُ
“Seseorang tidak boleh berkurban dari mayit yang tidak berwasiat karena alasan yang telah disebutkan. Ia dan shodaqoh dibedakan dengan; bahwa berkurban menyerupai fida’ {pe-nebusan} diri, maka terkait dengan izin, berbeda dengan shodaqoh. Oleh karenanya, ahli waris dan orang lain tidak boleh menggantikannya, walaupun kurban wajib. Berbeda dengan semisal haji, zakat, dan kafarot, karena di dalamnya tidak terdapat unsur fida’. Hal-hal ini menyerupai hutang, sedangkan ber-kurban tidak.
Namun sebagian ulama’ {ar-Rofi’i} membolehkannya karena mengedepankan nilai shodaqohnya. Sebagaimana keterangan beliau dalam Hasyiyyah ‘Umairoh juz VI halaman 256:
وَقَالَ الرَّافِعِيُّ : فَيَنْبَغِي أَنْ يَقَعَ لَهُ وَإِنْ لَمْ يُوصِ لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَحُكِيَ عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ السَّرَّاجِ شَيْخِ الْبُخَارِيِّ أَنَّهُ خَتَمَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثَرَ مِنْ عَشَرَةِ آلَافِ خَتْمَةٍ وَضَحَّى عَنْهُ مِثْلَ ذَلِكَ
” Dan ar-Rofi’i berpandapat: “Se-yogyanya berkurban dari mayit berhasil baginya, walaupun ia tidak berwasiat, karena ia termasuk varian shodaqoh. Diceritakan dari Abu al-‘Abbas as-Sarroj, guru al-Bukhori, bahwa sungguh ia menghatamkan al-qur’an bagi Rosululloh SAW lebih dari sepuluh ribu kali dan berkurban baginya dengan sebandingnya.”
Oleh : Ahmad Muntaha AM
@aswajamuda/junaSr