PRINGSEWU – Salah satu sikap muslim dan warga negara Indonesia yang baik adalah senantiasa menjaga keutuhan dan kebhinekaan bangsa. Keutuhan yang sudah terbina dengan baik di Indonesia selama ini wajib disyukuri karena merupakan anugerah yang luar biasa.
“Jangan sampai Indonesia hancur seperti Yaman, Irak dan Suriah. Dalam bernegara Pancasila dan berkonstitusi, semua warga sama hak dan kedudukan. Jangan didiskriminasi,” ujar salah satu Akademisi asal Provinsi Lampung Alamsyah, Rabu (19/4).
Ia menilai bahwa sebagai individu, umat Islam wajib menyuarakan dan bersikap dalam ikut menyebarkan perdamaian sesuai dengan konsep Islam Rahmatan lil Alamin.
“Itulah Islam yang rahmatan lil ‘alamiin. Islam Indonesia itu moderat, tegas, dan cerdas. Bukan ngamuk, marah, hoax, fitnah dan tuduh sana sini,” tegas Alamsyah yang juga Dekan Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung.
Ia juga menyayangkan suasana yang saat ini terus memanas terkait permasalahan politik yang terjadi di Ibukota.
“Janganlah ayat Tuhan dijual-jual untuk cari suara Pilkada, dijadikan alat, kendaraan dan tumpangan saja, janganlah dipolitisasi apalagi dimanipulasi,” harapnya.
Namun Ia masih optimis karena masih ada Lembaga Pendidikan Pesantren, Madrasah dan Perguruan Tinggi yang masih terus mengajarkan dan mengamalkan ilmu-ilmu keislaman dengan mendalam, integrasi agama, sains dan ilmu sosial, mencerdaskan serta yang memelihara nasionalisme.
Lembaga tersebut menurutnya dibangun untuk mengembangkan kajian keislaman dan kemanusiaan dengan luas serta mencerdaskan dengan kajian khilafiyah yang ilmiah dan kritis tetapi tetap moderat (tawasuth).
“Pondok Pesantren, Madrasah dan Perguruan Tinggi Islam menghargai kearifan lokal dan loyal dengan nilai-nilai kebangsaan serta sadar dengan wawasan keindonesiaan yang beragam,” terangnya.
Inilah menurutnya mengapa output pesantren dan madrasah mampu beradaptasi dan bisa menerima demokrasi secara damai
“Sebagai santri yang terdidik dengan kitab kuning, para santri biasa disuguhi dengan khilafiyah atau perbedaan mazhab ulama fiqh, ilmu kalam, nahwu, dan kadang filsafat serta pengalaman biasa menerima perbedaan menjadi modal berharga hidup di alam demokrasi,” terangnya. (Muhammad Faizin)