NYAI Hajah R Djuaesih, perempuan kelahiran Juni 1901 ini memiliki keberanian yang besar dan rasa percaya diri yang tinggi, lahir dari keluarga sederhana tak membuatnya minder. Dialah perempuan Nahdhatul Ulama (NU) yang tercatat dalam sejarah sebagai perempuan yang menyuarakan hak-hak kaumnya saat Muktamar ke-13 NU di Menes, tahun 1938.
Dari suaminya yang kerap mengajaknya dikegiatan organisasi, Nyai Djuaesih ternyata memiliki keberanian lebih dibandingkan perempuan sebayanya kala itu. Dengan lantang dan berapi-api, ia menyuarakan suara hatinya terkait kesetaraan perempuan NU.
Sorot matanya tajam, dan dengan gaya retorika yang elegan istri dari Danuatmadja alias H.Bustomi itu menguraikan pandangannya. Dalam persidangan khusus bagian wanita Muktamar ke-13 NU di Menes, Nyai Djuaesih mengobarkan semangat kaumnya dan menyadarkan bahwa perempuan Nahdliyin memiliki tanggung jawab yang sama dengan kaum laki-laki NU.
“Di dalam Islam bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik mengenai pengetahuan agama dan pengetahuan lain. Kaum wanita pun wajib mendapatkan didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntutan agama. Karena itu, kami wanita yang tergabung dalam NU mesti bangkit,” pidatonya di atas mimbar mantap.
Sontak, pidatonya membuat para hadirin terpesona. Dia akhirnya dikenal sebagai sosok perempuan NU yang pertama kali naik mimbar dalam forum resmi organisasi. Isi pidatonya terkait tanggung jawab yang sama dalam organisasi menjadi rintisan pandangan dan cikal bakal lahirnya Muslimat NU.
Awalnya, Nyai Djuaesih mengusulkan agar perempuan turut andil dan aktif menjadi anggota NU. Hal itu sebagai pembelajaran sebelum perempuan NU mandiri dan memiliki organisasi sendiri.
Meski menjadi sosok perintis Muslimat NU, Nyai Djuaesih tak begitu menonjol sebagai organisator dalam kepengurusan Muslimat. Dia lebih populer sebagai mubalighat dalam kepengurusan Muslimat NU Jawa Barat. Sehingga, saat kepengurusan awal Muslimat tahun 1946, Nyai Djuaesih belum masuk susunan pengurus pusat yang saat itu ketua Muslimat NU dijabat Nyai Saodah Natsir. Baru pada periode 1950-1952, Nyai Djuaesih tampil sebagai ketua.
Seperti umumnya masyarakat pribumi zaman Hindia Belanda, peremuan yang dikaruniai tiga orang putra dan dua putri ini tidak mengenyam pendidikan formal. Sejak kecil ia dalam didikan kedua orang tuanya sendiri, R.O. Abbas dan R. Omara S. Selebihnya ia belajar dari pengalaman dan pergaulan dengan lingkungan sosialnya. Ayahnya yang seorang ustadz banyak membekali Djuaesih dengan ilmu agama, sedangkan ibunya mendidik dan mengajari budi pekerti dan tata cara hidup berumah tangga.
Meskipun tak pernah mengenyam pendidikan formal, Nyai Djuaesih menyadari betul pentingnya pendidikan bagi masa depan. Karenanya, begitu ada kesempatan ia pun menyekolahkan anak-anaknya ke pendidikan formal yang dibuka pemerintahan Hindia Belanda saat itu. Tiga anaknya berhasil menamatkan pendidikan di MULO, sedangkan lainnya di HIS. Untuk ukuran zaman itu, apa yang dilakukan Djuaesih tergolong langka di tengah kehidupan pribumi yang serbasulit, tak hanya di bidang ekonomi dan politik tapi juga pendidikan.
Demikianlah sosok yang berkontribusi besar terhadap gerakan perempuan di lingkungan NU, seorang pendakwah yang lugas dan penggerak emansipasi yang otodidak. (NUOnline/Mahbib)
*Diolah dari buku “50 Tahun Muslimat NU, Berkhidmat untuk Agama, Negara & Bangsa”, 1996 (Jakarta: PP Muslimat NU)