Beberapa hari pasca kunjungan Grand Syeikh Azhar Prof. Dr. Ahmad Muhammad At-Thayyib ke PBNU, banyak opini keji yang ditujukan ke Yai Said yang dinggap telah membuat malu umat islam Indonesia. Sebuah opini yang diracik dari satu sudut tertentu untuk menjatuhkan seseorang yang ingin diserang. Dan yang paling bombastis adalah judul dari opini itu yang seakan membawa nama umat Islam Indonesia. Generalisasi yang menurut saya pribadi sangat tidak berdasar. Memang umat islam mana yang dibuat malu?
Saya tidak tahu pasti, apakah manusia yang menulis opini tersebut hadir saat Grand Syeikh bertandang ke PBNU atau tidak, tapi yang pasti orang-orang yang membagikan opini itu di Facebook dan group-group Whatsapp (dari apa yang saya dapatkan) pasti tidak datang ke PBNU dan bahkan mungkin tidak mengerti bahasa Arab sama sekali. Opini yang dibagikan tersebut juga tidak menyebutkan siapa penulisnya. Pembaca seperti saya malah justru berpikir bahwa penulis sepertinya punya kekhawatiran propaganda dan fitnahnya terbongkar. Namun, entah bagi para pembaca lain yang tidak sedikit dari mereka tergesa-gesa untuk marah dan menshare-nya.
Saya pribadi hadir di gedung PBNU saat halaqah itu dilaksanakan. Saya hadir jam 4 sore, kurang lebih 3 jam sebelum acara dimulai. Acara dihadiri oleh ratusan peserta , para pengurus PBNU dan para pembesar negeri termasuk Mentri agama, Mentri pemuda dan olahraga, para duta besar, Prof. Quraish Shihab, TGB Dr. Zainul Majdi selaku ketua umum ikatan alumni azhar dan juga Dr. Mukhlis Hanafi.
Yang paling menarik adalah format acara yang tidak berbelit-belit dan terlalu protokoler, sebab Yai Said sebagai tuan rumah mengambil porsi 3 in 1 sebagai pemberi kata sambutan, moderator juga sekaligus penerjemah. Bukan karena PBNU tidak memiliki kader yang mampu mengambil alih tugas tersebut, hanya saja dengan waktu yang sangat terbatas tersebut, format acara seperti ini malah menjadikan acara lebih hidup dan benar-benar mampu mengeksplorasi detail-detail substansi tema yang sedang dibicarakan. Seperti yang pernah diungkapkan Cak Nur, “Guru yang baik adalah dia yang mampu membawa murid-muridnya masuk ke dalam gerbang-gerbang pemikiran baru”, Yai Said saat itu mampu memantik sebuah dialektika pemikiran Islam Nusantara antara beliau dan Grand Syeikh Azhar sehingga peserta halaqah seperti saya dapat terbuka pemikirannya dalam memahami konteks Islam Nusantara
Sebagai sebuah proses dialektika, tentu adanya tesis dan antitesa menjadi niscaya, sebab yang dicari adalah sintesa baru untuk kesepakatan dan kemajuan bersama. Begitu kan? Yai Said pun sebagai penerjemah sangat amanah dan mampu merangkum statement Grand Syeikh dengan baik. Tidak ada yang ditutupi dari ucapan Grand Syeikh Azhar walaupun misalkan ucapan tersebut merupakan bentuk kritik terhadap statementnya.
Dari opini yang ditulis, terlihat penulis mengambil satu sudut pandang dimana Grand Syeikh sedang menanggapi sambutan Yai Said perihal hubungan Arab dan Islam. Yai Said yang terbiasa bercanda dalam banyak kesempatan saat itu mengungkapkan bahwa ajaran-ajaran islam, bahkan yang radikal juga bersumber dari orang-orang Arab. Yai Said menjelaskan tentang karakteristik Islam di Nusantara yang berbeda dengan karakter di tanah Arab tersebut. Statement itu ditanggapi oleh Grand Syeikh Azhar bahwa Arab dan Islam memang sesuatu yang tidak terpisahkan. Sebab Nabi Muhammad adalah orang Arab dan tidak sempurna keislaman kita jika tidak berimana kepada orang Arab ini (baca: Nabi Muhammad saw.).
Statement dua tokoh besar ini menurut saya mempunyai konteksnya masing-masing dan tidak bisa dipahami dengan hanya kaca mata kebencian semata. Yai Said tentu tidak bermaksud merendahkan Arab, pun statement Grand Syeikh Azhar bukan sebuah bentuk ketidaksukaan. Hal ini harus dipahami sebagai bentuk dialektika antara pimpinan lembaga keislaman senior dan junior, atau dialektika antara guru dan murid. Azhar tentu lebih tua dan berpengalaman ketimbang NU dalam menghadapi persoalan umat. Azhar juga lebih mendunia dari NU. Sebab itulah dialektika yang membangun seperti itu niscaya terjadi. Pada statement akhir pun Grand Syeikh mengatakan bahwa Azhar akan selalu dibelakang NU dalam mewujudkan peradaban Islam yang moderat dan bahkan memberikan 30 beasiswa untuk kader-kader muda NU untuk melanjutkan kuliah di Azhar.
Tahun 2010, PBNU hanya mendapat jatah beasiswa 6 orang dan kebetulan saya salah satunya. Jika saat ini ditambah jadi 30, bukankah itu suatu yang mesti dibanggakan? Dan kita tidak boleh menutup diri bahwa hal tersebut juga merupakan bentuk penghormatan Azhar kepada Yai Said dan NU bukan? Lalu dimana buat malunya?
Perlu dipahami, bahwa NU dan Muhammadiyah memiliki metodologi yang sangat mirip dengan Azhar. Muhammadiyah sangat Azhar sebab metode Tarjih al-Madzahib (menetapkan hukum dengan membandingkan pendapat lintas mazhab) yang dipakainya dalam proses pengambilan kesimpulan hukum-hukumnya yang juga diterapkan Azhar dalam lembaga fatwa maupun pendidikannya. Sedangakan NU menjadi sangat Azhar sebab metode Akidah, fikih dan Akhlak yang sama-sama bertumpu pada Asyairoh-Maturidiyah, bermazhab dan bertasawwuf. Azhar-NU – Muhammadiyah sama-sama tidak pernah mengkafirkan, menyesatkan, memunafikkan orang-orang Islam yang tidak sejalan dengan mereka. Azhar-NU-Muhammadiyah sama-sama menolak khilafah ala HTI, tradisi radikal, ekstrem dan metode dakwah caci maki. Jadi sangat wajar jika NU mendapatkan juga porsi beasiswa ini. Semoga Muhammadiyah nantinya demikian walaupun sepertinya sudah diwakili oleh pesantre seperti Gontor.
Menyebut Grand Syeikh Azhar berpikir buruk atas pertemuannya dengan Yai Said juga sangat tidak mendasar dan justru merendahkan kehormatan Grand Syeikh. Beliau itu seorang Sufi yang sudah terbiasa menjaga hati dan lisannya. Bukan seperti kita yang sukanya mengotori hati kita dengan Suudhan terus sama orang lain. Saya masih ingat bagaimana kader-kader Ikhwan-salafi dari Mesir maupun Indonesia mencaci maki beliau saat revolusi Mesir 2013 terjadi. Apa beliau marah? Sama sekali tidak. Justru beliau menghadapinya dengan sangat amat sabar sekali. Jadi tuduhan kepada Grand Syeikh Azhar saat berkunjung ke PBNU adalah tidak mendasar dan kurang ngajar. Di PBNU justru terlihat Grand Syeikh sangat rileks sembari sesekali menanggapi guyonan-guyonan pesantren ala Yai Said.
Yang lebih lucu adalah ketika ada seseorang yang sangat membenci Grand Syeikh Azhar yang dia katakan sebagai mufti munafik pembela rezim militer, malahan memberikan ke saya opini yang sama untuk menjatuhkan Yai Said. Artinya dia hanya memanfaatkan statement Grand Syeikh untuk menjatuhkan orang yang tidak dia suka. Tapi soal penolakan Grand Syeikh untuk mengkafirkan Syiah, menolak khilafah ala Hizbuttahrir, ISIS atau pujian beliau terhadap Pancasila tidak pernah dibela dan dibagikan. Miris bukan!
Orang yang merendahkan Yai Said mungkin belum membaca pidato bahasa arab beliau saat Konferensi Tingkat Tinggi Ulama sedunia di Bogor kemarin yang begitu komperhensif menjabarkan Indonesia dan peta keberagamaannya. Dalam pidato tersebut menunjukkan betapa beliau memiliki kualitas keulamaan yang mumpuni dan memahami betul kebhinekaan yang kita punya. Tentu Yai Said juga tidak sempurna, namun setidaknya derajat keulamaan yang beliau miliki merupakan hal yang lebih dari cukup untuk kita dapat memberikan hak penghormatan kepada beliau.
‘Al-Adab Muqaddamun Ala al-‘Ilmi’ (Adab lebih didahulukan ketimbang ilmu) begitulah kira-kira santri diajarkan oleh para kiyai.
Tabik,
Mabda Dzikara
Sumber: baldatuna