Inilah Hasil Rumusan Mudzakarah Nasional Perhajian Indonesia tahun 2017

PRINGSEWU – Mudzakarah Nasional Perhajian Indonesia tahun 2017 yang berlangsung selama 3 hari dari 28 sampai dengan 30 April 2017 di Jakarta berhasil merumuskan beberapa hal terkait Masail Waqiyah dan Fiqh Haji Wanita. Rumusan masalah ini dijelaskan oleh Ketua Lembaga Bahtsul Masail NU Provinsi Lampung KH. Munawir yang ikut serta dalam mudzakarah tersebut.

Beberapa pembahasan dalam mudzakarah tersebut diantaranya Haji bagi wanita haid, waktu melempar jumroh, Menjama’ dan Mewakili melontar jamrah, memulai ihrom, Mabit di tanah perluasan mina (mina jadid).

“Semua amalan haji atau umrah dapat dikerjakan oleh jamaah wanita yang sedang haid kecuali tawaf,” katanya Ahad (30/4/17)

Imam syafii mensaratkan suci dalam towaf, sehingga wanita yang sedang haid tidak di perbolehkan towaf. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah dan Ibnu Taimiyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad Bin Bambal tidak harus dalam keadaan suci.

Untuk waktu melontar jumroh dimulai pada tanggal 10 Dzulhijjah adalah mulai setelah terbitnya fajar yang di sebut dengan waktu fadilah, sampai terbenamnya matahari tanggal 13 Dzulhijjah. Sedang ulama Madzhab memperbolehkan melontar jumroh di mulai setelah nisfullail atau tengah malam.

“Untuk waktu melontar jumroh hari hari tasri’ di mulai setelah tergelincirnya matahari sampai terbenamnya matahari atau di sebut waktu fadhilah. Sedang sebagian ulama ada yang memperbolehkan melontar setelah terbitnya fajar dan melontar jumroh sebelum terbitnya fajar tidak di perbolehkan,” terangnya.

Sedangkan untuk hukum menjama’ dan mewakilkan melontar jumroh di perbolehkan.

“Dengan catatan tidak melontar sebelum waktunya, tanggal 10 boleh di jamak dengan tanggal 11 atau 12 atau 13, tidak boleh tanggal 11, 12 di lontar tanggal 10,” kata Ketua Komisi Fatwa MUI Lampung ini.

Sementara Hukum memulai ihrom, bagi jamaah haji yang langsung ke Mekah boleh mengambil miqot yang telah di tentukan sar’i yaitu yulamlam atau di dari jedah. Dan yang dari Madinah bisa mengambil Miqot di Bir Aly.

Terjadi beda pendapat Ulama tentang hukum mabit di mina. “Pendapat yang muktamad Wajib, dan ada yang berpendapat Sunah. Jika mengikuti pendapat yang wajib maka Mabit di perluasan Mina tidak sah kecuali ada udzur sar’i dan konsekwensinya membayar dam. Dan jika mengikuti pendapat yang mengatakan sunah maka mabit di perluasan mina tidak wajib membayar dam,” jelasnya.

Sementara hukum yang lain seperti diperbolehkan Badal towaf ifadho bagi jamaah yang sakit dengan alasan mewakilkan ibadah haji secara keseluruhan di perbolehkan maka mewakilkan sebagian dari rukunnya juga di perbolehkan.

“Diperbolehkan juga menggabungkan Tawaf Ifadhloh dan towaf wada’ bagi jamaah haji yang punya udzur,” pungkasnya. (Muhammad Faizin)

About Admin

Istiqomah dalam Berkhidmah

Check Also

KH. Marzuqi Mustamar Bakal Hadir Di Pringsewu Lampung

NUPringsewu | Dr. K.H. Marzuqi Mustamar, M.Ag. adalah Pimpinan Pondok Pesantren Sabiilul Rosyad, Kota Malang, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *