oleh : Ma’ruf Khozin
Saya masih teringat pesan Kyai Zainuddin Jazuli(Pengasuh Pesantren Al Falah Ploso Kediri Jatim-red) saat di pesantren dulu. Beliau menjelaskan bahwa Nabi Musa memiliki jiwa petualang, beliau mampu membawa Bani Israil dari Mesir ke Palestina, jarak yang sangat jauh, tanpa merasa kelelahan yang berarti. Namun saat mencari ilmu kepada Nabi Khidir, Allah mengabadikan keluhan Nabi Musa dalam ayat:
فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَٰذَا نَصَبًا
“Maka tatkala mereka (Nabi Musa dan Nabi Yusya’) berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”. (Al-Kahfi 62)
Menjadi santri, belajar di pesantren memang melelahkan, namun tetap harus sabar agar dapat sesuatu yang lebih besar, yaitu ilmu.
Lalu ilmu yang diperoleh diusahakan untuk ditulis sebagaimana sabda Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam:
ﻗﻴﺪﻭا اﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﻜﺘﺎﺏ (اﻟﺤﻜﻴﻢ ﺳﻤﻮﻳﻪ) ﻋﻦ ﺃﻧﺲ (ﻃﺐ ﻛ) ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ.
“Ikatlah ilmu dengan buku / tulisan” (HR Hakim Tirmidzi dari Anas dan Thabrani dan Hakim dari Abdullah bin Amr)
Inilah kebiasaan Ulama kita sejak dahulu. Kadang satu ulama memiliki karya tulis puluhan kitab, bahkan ratusan kitab.
Media menulis saat ini bukan sekedar tinta, namun sudah sangat banyak, termasuk media sosial. Silahkan ilmu ditulis disana.
Namun ingat pesan Imam kita:
قال الماوردي الخط احد اللسانين
Al Mawardi berkata: “tulisan adalah 1 dari dua mulut”
Kita berdzikir berpahala, jika Dzikir ditulis juga berpahala. Demikian halnya mencaci maki berdosa, jika caci maki ditulis, juga berakibat sama.
Selamat datang para santri di era media sosial, tetap dengan karakter Santri.(junaSr)