Berkurban Adalah Salah Satu Bentuk Taqorub kita kepada Allah SWT dan Bentuk ibadah sosial yang sangat indah untuk dilakukan,Berkenaan dengan hukum berkurban itu sendiri adalah sunnah muakkad.
Namun khusus untuk Rasulullah melihat hukumnya adalah wajib. Salah ini adalah milik diriwayatkan oleh at-Tirmidzi;
أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ
“Aku diperintahkan untuk berkurban, dan hal itu merupakan sunnah bagi kalian” (HR. At-Tirmidzi).
Kesunnahan dalam hal ini adalahunun kifayah jika dalam keluarga adalah satu dari mereka telah menggunakan kurban maka gugurlah kesunnahan yang lain, tetapi jika hanya satu orang maka hukumnya adalah sunnah ‘ain. dan mampu.
والاضحية- …. (سنة) مؤكدة فيحقناعلى الكفاية إن تعدد أهل البيت فإذا فعلها واحد من أهل البيت كفى عن الجميع وإلا فسنة عين والمخاطب بها المسلم الحر البالغ العاقل المستطيع “
Hukum berkurban adalah sunnah muakkad yang mengutamakan kifayah yang disetujui dalam satu keluarga banyak, maka jika salah satu dari mereka telah memulai maka sudah mencukupi untuk semua jika tidak maka menjadi sunnah ain. Sementara mukhatab (orang yang mengeluarkan khitab) adalah orang islam yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu ”(Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, al-Iqna ‘fi Halli Alfazhi Abi asy-Syuja’ , Bairut-Maktab al-Buhuts wa ad-Dirasat, tt, juz, 2, h. 588)
Sampai di sini tidak ada diskusi, tetapi kemudian muncul tentang berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia. Biasanya hal ini dilalukan oleh pihak rumah, karena orang yang telah meninggal dunia saat masih hidup belum pernah berkurban. Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath-Thalibin dengan menegaskan tidak ada kurban untuk orang yang telah meniggal dunia kecuali semasa yang pernah berwasiat. Daftar Isi “Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia yang tidak berwasiat untuk dikurbani” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Minhaj ath-Thalibin , Bairut-Dar al-Fikr , cet ke-1, 1425 H / 2005 M, h. 321)
perdebatan argumentasi yang dapat dikemukakanuntuk menopang pendapat ini adalah kurban merupakan ibadah yang membutuhkan niat. Karenanya, orang-orang yang setuju. Namun demikian, ada pendapat lain yang menyatakan kebolehan berkurban untuk orang-orang yang telah meninggal dunia yang disetujui oleh Abu al-Hasan al-Abbadi.
Alasan pandangan ini adalah berkurban termasuk sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sah dan dapat memberikan kesuksesan, serta pahalanya bisa disetujui oleh yang telah disetujui oleh para ulama
. لو ضحى عن غيره بغيرإذنه لم يقع عنه (وأما) التضحية عن الميت فقد أطلق أبوالحسن العبادي جوازها لأنها ضرب من الصدقة والصدقة تصح عن الميت وتنفع هوتصل إليه بالإجماع “Seandainya seseorang
berkurban untuk orang lain tanpa seizinnya maka tidak bisa. Karena berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu al-Hasan al-Abbadi memperbolehkannya disetujui sedekah, sedang sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa menjadi ketetapan ijma` para ulama ”( Lihat Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu ‘Syarh al-Muhadzdzab , Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 8, h. 406)
Di kalangan mazhab Syafi’i sendiri pandangan yang pertama dianggap sebagai pandangan yang lebih sahih (ashah) dan ulama dari kalangan mazhab syafi’i. Kendati pandangan yang kedua tidak menjadi pandangan penuh ulama mazhab syafi’i, namun pandangan kedua didukung oleh mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali.
Hal ini diterbitkan yang terdokumentasikan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah. إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ. فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ. أما إذا لم يوص بهافأراد الوارث أو غيره أن يضحي عنه من مال نفسه, فذهب الحنفية والمالكية والحنابلة إلى جواز التضحية عنه, إلا أن المالكية أجازوا ذلك مع الكراهة. Ulasan dan informasi tambahan “Orang jika telah meninggal dunia” belum pernah berwasiat untuk dikurbani kemudian ahli waris atau orang lain mengurbani orang yang telah meninggal dunia ini dari hartanya sendiri maka mazhab hanafii, maliki, dan hanbali memperbolehkannya.
Hanya boleh menurut mazhab maliki boleh tapi makruh. Alasan mereka adalah karena kematian tidak bisa mencegah orang yang meninggal dunia untuk ber-taqarrub kepada Allah SWT dalam sedekah dan ibadah haji ”(Lihat, Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah-Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah , Bairut-Dar as-Salasil, juz, 5, h. 106-107)
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Jadikan perbedaan pandangan para ulama dalam masalah fikih sebagai rahmat. Jika Anda dan saudara-saudara Anda ingin berkurban untuk orang tua yang telah meninggal dunia, maka berarti Anda menerima pendapat ulama yang kedua, seperti jawab di atas.
Meskipun berkurban dalam hal ini dibuat sebagai sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sah dan dapat memberikan kesuksesan