nupringsewuonline, Tak dipungkiri kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak pernah lepas dari perjuangan para tokoh agama, salah satunya adalah para kiai dan santri pondok pesantren. Sejarah mencatat, salah satu fragmen penting dari rangkaian perjalanan panjang tersebut adalah resolusi jihad (perjuangan, red) KH Hasyim Asy’ari, pendiri ormas Islam terbesar Nahdlatul Ulama (NU).
Meskipun buku sejarah nasional Indonesia tidak mencantumkan catatan penting mengenai resolusi jihad sebagai konteks peperangan, namun arti pentingnya akhirnya ditandai secara nasional yang senantiasa identik dengan Hari Pahlawan 10 November. Pertempuran dahsyat itu diinspirasi dan digerakkan oleh Resolusi Jihad KH Hasyim Asyari.
Pasalnya, pengalaman tempur mereka di Perang Dunia II yang dahsyat dirasa sudah lebih dari cukup untuk bisa memenangkan pertempuran 10 November 1945.
Pertempuran besar tak terhindarkan antara pasukan Sekutu dan laskar NKRI yang terdiri dari kyai dan santri. Panglima AFNEI Letjen Philip Sir Christison mengirim pasukan Divisi ke-5 dibawah Komando Mayor Jenderal E.C Mansergh, jenderal yang terkenal karena kemenangannya dalam Perang Dunia II di Afrika saat melawan Jenderal Rommel.
Mansergh membawa 15 ribu tentara, dibantu enam ribu personel brigade 45 The Fighting Cock dengan persenjataan serba canggih, termasuk menggunakan tank Sherman, 25 ponders, 37 howitser, kapal Perang HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, dan 12 kapal terbang jenis Mosquito. Namun mereka berhasil didesak oleh laskar kyai dan santri. Pasukan Sekutu terdesak, dan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas di tangan laskar santri.
Keluarnya Resolusi Jihad tidak terlepas dari pandangan KH. Hasyim Asy’ari mengenai Islam dan kenegaraan. Beliau mengikuti pandangan yang berkembang dalam pemikiran politik Ahlussunnah wal jama’ah, yakni pendapat Syekh Nawawi al-Bantani, yang menyatakan bahwa Dar al-Islam yang telah dikuasai oleh non-Muslim tetap dipandang sebagai Dar al-Islam apabila umat Islam masih tetap bermukim di dalamnya. Dan pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, NU memang pernah menyatakan bahwa Indonesia adalah Dar al-Islam, meskipun saat itu di bawah pemerintah Hindia Belanda.
Artinya, Dar al-Islam yang kemudian dikuasai oleh non-Muslim tidak berubah status menjadi Dar al-Harb apabila orang Islam yang menetap di dalamnya tidak dihalangi untuk melaksanakan syariat agamanya. Akan tetapi, jika penguasa non-Muslim tersebut menghalangi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, maka statusnya berubah menjadi Dar al-Harb.
Dengan begini, maka dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari, mempertahankan eksistensi NKRI dari segala hal yang mengancamnya wajib dilakukan oleh umat Islam, bukan semata-mata atas nama nasionalisme, namun untuk keberlangsungan kehidupan umat Islam yang berdiam di negara tersebut. Hal ini ditegaskan dalam pidatonya yang disampaikan pada Muktamar NU ke-XVI di Purwekorto 26-29 Maret 1946.
Pasalnya, pengalaman tempur mereka di Perang Dunia II yang dahsyat dirasa sudah lebih dari cukup untuk bisa memenangkan pertempuran 10 November 1945.
Pertempuran besar tak terhindarkan antara pasukan Sekutu dan laskar NKRI yang terdiri dari kyai dan santri. Panglima AFNEI Letjen Philip Sir Christison mengirim pasukan Divisi ke-5 dibawah Komando Mayor Jenderal E.C Mansergh, jenderal yang terkenal karena kemenangannya dalam Perang Dunia II di Afrika saat melawan Jenderal Rommel.
Mansergh membawa 15 ribu tentara, dibantu enam ribu personel brigade 45 The Fighting Cock dengan persenjataan serba canggih, termasuk menggunakan tank Sherman, 25 ponders, 37 howitser, kapal Perang HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, dan 12 kapal terbang jenis Mosquito. Namun mereka berhasil didesak oleh laskar kyai dan santri. Pasukan Sekutu terdesak, dan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas di tangan laskar santri.
Keluarnya Resolusi Jihad tidak terlepas dari pandangan KH. Hasyim Asy’ari mengenai Islam dan kenegaraan. Beliau mengikuti pandangan yang berkembang dalam pemikiran politik Ahlussunnah wal jama’ah, yakni pendapat Syekh Nawawi al-Bantani, yang menyatakan bahwa Dar al-Islam yang telah dikuasai oleh non-Muslim tetap dipandang sebagai Dar al-Islam apabila umat Islam masih tetap bermukim di dalamnya. Dan pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, NU memang pernah menyatakan bahwa Indonesia adalah Dar al-Islam, meskipun saat itu di bawah pemerintah Hindia Belanda.
Artinya, Dar al-Islam yang kemudian dikuasai oleh non-Muslim tidak berubah status menjadi Dar al-Harb apabila orang Islam yang menetap di dalamnya tidak dihalangi untuk melaksanakan syariat agamanya. Akan tetapi, jika penguasa non-Muslim tersebut menghalangi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, maka statusnya berubah menjadi Dar al-Harb.
Dengan begini, maka dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari, mempertahankan eksistensi NKRI dari segala hal yang mengancamnya wajib dilakukan oleh umat Islam, bukan semata-mata atas nama nasionalisme, namun untuk keberlangsungan kehidupan umat Islam yang berdiam di negara tersebut. Hal ini ditegaskan dalam pidatonya yang disampaikan pada Muktamar NU ke-XVI di Purwekorto 26-29 Maret 1946.